Timika, Oktober 2017
Penulis: Sheilla Tarami, S. Pd
Seperti biasanya sebagai seorang M&E di YP2KP yang bermitra dengan Unicef kami melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk melakukan monitoring terhadap pelatih maupun mentor. Hal itu diakukan agar kami mendaptkan data tentang perkembangan pendampingan mereka di sekolah maupun di masyarakat tentang adanya penerapan program lietrasi di kelas awal (Kelas 1, 2 dan 3).
Suatu kali saat saya mengunjungi sebuah sekolah di gugus 2 tepatnya di sekolah model A dalam sasaran program dari Unicef ini yakni SD Negeri Pomako. Saat itu saya sedang melakukan monitoring kegiatan Disiplin Positiv. Disela-sela kegiatan tersebut saya melihat ada 2 anak kecil usia kelas awal mereka sedang mengintip-ngintip dari depan pintu melihat proses kegiatan yang dilakukan oleh pelatih. Saya mulai sempatkan waktu untuk keluar ruangan dan memanggil kedua anak tersebut. Ketika mereka menghamipiri saya dengan muka yang tersipu-sipu malu saya merangkul mereka dan mulai bercakap-cakap dengan kedua anak tersebut. Kedua anak itu bernama Rudi dan Nona. Rudi duduk di kelas 2 SD N. 10 Pomako sedangkan Nona duduk di kelas 5 SD N. Pomako. Basa-basi saya pun mereka menjawabnya dengan senyum yang sangat khas. Tiap kali ditanya mereka selalu tersenyum untuk menjawab. Dalam benak hati saya, cobalah saya tanyakan tentang pelajaran Literasi kepada mereka. Saya pun bertanya kepada si Rudi karena menurut saya Rudi saat ini berada di kelas awal, secara otomatis pasti Rudi belajar tentang Literasi di kelas karena sekolah Rudi juga merupakan salah satu sekolah sasaran Unicef.
Hal yang saya tanyakan pertama kepada Rudi adalah tentang bunyi-bunyi huruf. Rudi pun menjawab dengan benar. Saat saya bertanya tentang bunyi huruf “B” rudi menjawab dengan spontan dan jawaban sesuai menurut saya. Begitu pun dengan bunyi-bunyi huruf yang lain yang saya tanyakan, ia dapat menjawab dengan benar. Saya mencoba membandingkan dengan si Nona yang sudah duduk di kelas 5. Tujuannya untuk membandingkan apakah si Nona juga bisa membunyikan bunyi huruf dengan benar atau tidak. Saya mulai bertanya huruf “F” pada anak tersebut, namun jawabannya menurut saya tidak sesuai dengan bunyi huruf tersebut, begitu pun dengan huruf-huruf yang lain, hanya huruf vokal yang ia bisa menjawab dengan sesuai. Kami pun melanjutkan ke materi literasi yang lain. Saya bertanya lagi pada mereka tentang ada berapa jenis huruf, “Huruf vokal dan huruf konsonan” Rudi menjawab dengan senang. Saya melihat si Nona tidak menjawab, namun saya jelaskan lagi bagi mereka berdua agar si Nona juga paham tentang jenis-jenis huruf. Saya masih suka bertanya pada mereka berdua, “ada 2 bentuk huruf ada bentuk-bentuk apa saja yah?” kemudian “Huruf besar deng huruf kecil bu guru!” Rudi meyakinkan pada saya. Si Nona hanya mengikuti jawaban dari si Rudi. Mendengar Rudi menyebut huruf besar saya pun membenarkan bahwa bukan huruf besar tetapi huruf kapital. Kami juga belajar tentang menulis huruf di lembar 4 garis. Rudi terlihat senang belajar dengan saya, saya pun suka untuk membagikan ilmu pada si Rudi. Si Nona karena mungkin merasa malu, ia pun pergi dari kami berdua. Saya tetap melanjutkan berbagi ilmu dengan si Rudi. Basa-basi saya sebelum melanjutkan saya bertanya tentang asal suku dari si Rudi. Menurut penjelasannya ia berasal dari 2 suku, ayahnya dari suku Amugme dan Ibunya dari suku Keakwa. Kesimpulan saya adalah Rudi adalah anak asli 2 suku besar di tanah Amungsa Timika. Saya pun lebih semangat lagi berbagi ilmu dengan Rudi. Namun, karena saya harus membagi waktu saya juga untuk memonitoring kegiatan saya berpamitan dengan Rudi dan mengucapkan terimakasih saya padanya.
Keesokan harinya saya masih tetap melanjutkan pekerjaan saya memonitoring kegiatan Disiplin Positiv di SD Negeri Pomako. Di saat break saya bertemu dengan kedua anak tersebut si Rudi dan Si Nona. Saya mengajak mereka untuk menikmati buku. Kami ke belakang ruangan kelas, disitu terdapat pojok baca “GEMILANG”. Sebelum mengambil buku-buku yang ada di rak pojok baca tersebut hal pertama yang saya tanyakan adalah kesukaan mereka tentang membaca. Nampaknya mereka senang sekali untuk membaca. Kami pun mengambil buku di rak tersebut. Saya membacakan mereka cerita. Setiap lembar buku cerita itu, saya bertanya kepada mereka tentang isi cerita tersebut. Mereka menjawab dengan baik, dengan spontan mereka mengatakan, “Bu guru, saya suka membaca”. Mendengar itu saya sangat senang. Usai membaca buku saya mengajarkan tentang ciri-ciri buku.
Jika dilihat secara strukturalisasi sebenarnya apa yang saya lakukan bukan tugas saya namun karena ada rasa ingin tahu saya tentang sejauh mana mereka mendaptkan pengajaran tentang literasi yang diberikan guru kepada mereka, saya mencoba meriview dengan hal-hal sederhana yang sudah diterima oleh si Rudi di sekolahnya. Hal lain juga saya ingin membandingkan si Nona yang duduk di kelas 5 dan si Rudi yang duduk di kelas 2. Dimana jika dilihat dari kelasnya berarti si Nona belum mendapatkan pengajaran literasi seperti yang didaptakan oleh Rudi. Menjadi point penting bagi saya dan juga informasi tambahan dalam penerapan program ini adalah ada kesuksesan yang diraih dari hasil pelatihan yang diberikan pelatih bagi guru-guru di sekolah sasaran ini. Dengan jelas terlihat bahwa bias dibandingkan dengan adanya metode pengajaran literasi yang diterapkan dan yang tidak menerapakan metode tersebut.
Dari sisi pengetahuan literasi sangat jauh tertinggal dengan yang mendapatkan secara langsung. Ada begitu banyak ilmu-ilmu baru yang diterima oleh anak didik baik dari segi pemahaman belajar maupun cara belajar yang lebih menarik agar mereka tidak merasa bosan dan jenuh di dalam kelas. Lagu-lagu kebun huruf yang diajarkan membuat anak semakin mencintai literasi. Buku-buku bacaan yang disediakan membuat anak juga semakin semangat ke sekolah karena banyak buku yang telah tersedia di kelas. Si Rudi dan Si Nona menjadi salah satu perbandingan penerepan pengajaran literasi di sekolah.