Timika, Oktober 2017

Ditulis oleh : Rahmat

 

 Kata bijak John Maxwell: “Seorang pemimpin harus mampu menyentuh hati  sebelum ia meminta orang melakukan sesuatu.”   Tampaknya  sangat dipahami oleh ibu Frederika Lefteuw ketika ia diberi amanah menjadi kepala sekolah di SD YPPK ST. RAFAEL Kaugapu. 

Tepat pada hari jum’at, 14 Agustus 2015 ia menjalankan tugasnya sebagai  pemimpin di sekolah yang siswanya mayoritas anak asli Papua (Kamoro) di Kampung Kaugapu dan sekitarnya.  

Bu Rika, demikian beliau dipanggil oleh murid dan rekan-rekan guru. Dalam kesehariannya baik di sekolah maupun tempat tinggalnya beliau dikenal sebagai guru yang ramah, teman yang hangat, motivator yang hebat. Dalam sebuah kesempatan, kepala sekolah yang punya hobi bernyanyi  dan olahraga voly ini berbagi cerita tentang bagaimana kondisi awal ketika menjadi kepala sekolah di SD YPPK Kaugapu. 

“Pada awal saya jadi kepala sekolah kehadiran murid di sekolah ini sangat memprihatinkan, sangat sedikit siswa yang masuk. Anak sekolah lebih senang bermain di kampung, ikut orang tua mencari,” tuturnya.  

Hal ini sangat mempengaruhi masa depan anak-anak Kampung Kaugapu, untuk menarik anak-anak ke sekolah setiap sore diawal tugas saya waktu itu, saya berkeliling kampung bertemu orang tua murid, meminta orang tua mendorong anaknya ke sekolah. Memang usaha saya ini tidak langsung berbuah positif tetapi puji Tuhan pelan tapi pasti kerja-kerja kami menunjukkan perkembangan yang baik. “Saat ini jumlah siswa kami di SD YPPK Kaugapu berjumlah 285 orang,” ujar Ibu Kepala Sekolah.

“Di sekolah, saya melakukan bimbingan konseling kepada anak-anak, saya berikan motivasi agar mereka bersemangat untuk terus ke sekolah dan juga mendorong mereka untuk ke gereja pada  hari minggu. Saya selalu mengutamakan pendekatan ke anak-anak, saya berusaha menyentuh hati mereka, dulu murid kami banyak yang tidak mandi ke sekolah, berangkat ke seklolah dalam kondisi kusut, penuh ingus di hidungnya. Tanpa merasa jijik saya ambil tisu saya bersihkan wajahnya, saya lap hidungnya setelah itu saya nasehati mereka kalo ke sekolah kita harus mandi supaya kita bersih dan segar sehingga kita lebih enak dalam belajar. Hal seperti ini sering saya lakukan karena merubah kebiasaan anak khususnya anak kamoro itu perlu kesabaran. Anak-anak yang dulunya datang ke sekolah sekarang mereka sudah terbiasa mandi pagi bahkan mereka juga sudah pintar berdandan.  Kebiasaan lain yang sering saya lakukan membiasakan  menyapa anak dengan panggilan ”sayang”. Kadang kita ini menunggu anak-anak sapa duluan baru kita balik sapa padahal kita-lah yang harus melakukan itu karena untuk menghilangkan rasa sungkan anak kepada guru kita harus membuka diri. Saya ingin tidak hanya sekedar menjadi kepala sekolah tetapi juga menjadi orang tua bagi murid-murid saya,” Ibu Rika menceritakan. 

            Untuk mendisiplinkan guru-gurunya, wanita kelahiran Langgur, Maluku Tengggara Barat ini punya cara tersendiri. Ia lebih mengutamakan memberi contoh dibandingkan menegur secara lisan. Misalnya kelas kosong karena guru datang terlambat, ia langsung mengisi kelas tersebut ketika gurunya datang ia menyampaikan pak/bu guru, setelah jam saja baru ibu masuk yah,. Cara sederhana tetapi cukup efektif.selain itu factor internal seperti kekompakan guru-guru di sekolah masih belum terbangun dengan baik, administrasi sekolah dan kelas yang seadanya ditambah lagi kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih sangat minim menjadi sebuah tantangan oleh ibu 3 orang anak ini. 

Program Literasi Membantu Saya Mewujudkan Mimpi

Suatu waktu, Pak Justin selaku konsultan Monitoring dan Evaluasi Unicef tanah Papua dalam presentasi hasil EGRA di hadapan Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Mimika, Tokoh pendidikan, Kepala-kepala Sekolah dampingan Unicef dan guru-guru kelas awal bertanya kepada salah satu guru dari SD YPPK Kaugapu, apa rahasia kesuksesan SD YPPK Kaugapu meraih nilai tertinggi pada tes EGRA (membaca  huruf, membaca kata tak bermakna, membaca lantang dan membaca dengan pemahaman) yang dilakukan Unicef di 20 sekolah dampingan. Ibu Agusthina Hematang dengan lugas menjelaskan bahwa di sekolah, mereka membudayakan saling belajar di antara guru berjalan dengan sangat baik. Guru yang kreatif mengajarkan guru yang belum kreatif dalam membuat alat peraga, guru yang paham membuat perangkat pembelajaran, mengajarkan cara membuat perangkat pembelajaran yang baik kepada guru yang belum tahu sehingga kualitas diantara guru di sekolah tidak terlalu berbeda.  Seperti yang disampaikan ibu guru tersebut, Di SD YPPK ST. Rafael Kaugapu mereka mendapati guru kelas 4, kelas 5 maupun kelas 6 cukup terampil menggunakan berbagai permainan dalam literasi, tepuk salut, tepuk diam, Kesepakatan kelas dan berbagai macam hal positif dalam program literasi sudah terintegrasi dalam kegiatan belajar- mengajar di semua kelas di sekolah ini.

Budaya saling belajar diantara guru tentu tidak terjadi secara alami, disinilah peran ibu Rika sebagai role model. Ia menceritakan pada awalnya guru-guru di sekolah hanya memiliki RPP tetapi pembelajaran di kelas masih belajar dengan monoton dan membosankan, kreatifitas guru dalam membuat alat peraga pembelajaran belum terlihat. Berbekal pengalamannya mengajar di SD YPPK Tiga Raja beliau mengumpulkan perangkat pembelajaran dan referensi  yang bisa membantu mendorong suasana belajar yang menyenangkan di sekolah. Keinginan besarnya untuk menggunakan model pembelajaran PAIKEM tidak berjalan mulus, guru-guru banyak yang mengeluh dengan berbagai macam alasan. Dengan kondisi tersebut ia terjun langsung memberikan modeling kepada guru-gurunya dalam menggunakan model pembelajaran PAIKEM Namun karena tugas Kepala Sekolah yang banyak ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk memberikan contoh model pembelajaran PAIKEM . Ketika program literasi ini masuk ke SD YPPK Kaugapu ia sangat senang karena sangat membantu. Sesuai keinginan awalnya bahwa suasana belajar itu harus menyenangkan melalui permainan, lagu-lagu kebun huruf, sehingga membuat anak betah dan bersemangat untuk datang ke sekolah. Sekarang  guru-guru kami bertambah semangat dengan kehadiran program ini karena guru-guru kami dilatih melalui In House Training dan KKG, bagaimana membuat suasana belajar itu menjadi menyenangkan, suasana kelas yang aktif. Sekarang ia tidak pernah lagi memberikan pendampingan khusus kepada guru-gurunya karena pelatih dari Unicef rutin melakukan pendampingan guru kelas awal.

Kehadiran program literasi membuat ibu Rika bertambah semangat, ia terus mendorong guru-gurunya untuk bisa berbagi pengetahuan sehingga hal-hal positif yang didapatkan guru kelas awal dibagikan ke guru-guru kelas atas. Banyak hal baik yang mereka dapatkan setelah mengikuti program literasi ini, bukan hanya penguatan kapasitas guru tapi juga mereka dibantu dengan buku-buku bacaan, manajemen sekolah seperti pembuatan RKAS, LKT, dll. Menurutnya Program Literasi ini berkat untuk mereka yang mungkin saja tidak didapatkan oleh sekolah lain. Beliau pun menyampaikan bahwa pada tanggal 28 September 2017 lalu pada moment hari ulang tahun pelindung sekolah di hadapan pejabat Dinas Pendidikan kab. Mimika, Kepala Distrik Mimika Timur, Kepala Kampung Kaugapu dan juga orang tua murid, mereka telah mencanangkan program sekolah sebagai sekolah ramah anak dan sekolah sehat. Program ini sebenarnya sudah lama saya cita-citakan tetapi karena pengetahuan guru-guru yang belum cukup sehingga sempat tertunda namun setelah mendapatkan Pelatihan Disiplin Positif yang difasilitasi YP2KP dan Unicef, saya ingin hal ini terprogramkan. Sehingga perilaku tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun bisa diminimalisir. Harapan besar Bu Rika, bahwa selama program literasi masih berjalan di Kabupaten Mimika melalui YP2KP sebagai mitra  Unicef, selama itu pula sekolahnya tetap didampingi.